Senin, 22 Juli 2013

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA 11

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA


1.         Pengertian Korupsi
Kata ‘Korupsi’ berasal dari bahasa Latin ‘corruptio’ (Fockema Andrea: (1951) atai ‘corruptus’ (Webster Student Dictionary” 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa ‘corruptio’ berasal dari kata ‘corrumpere’, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilan ‘corruption, corrupt’ (Inggris), ‘corruption’ (Perancis) dan ‘corruptie/korruptie’ (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (S. Wojowasito-WJS Purwadarminta: 1976).
Menurut Muhammad Ali: 1993, pengertian Korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya
2.    Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
3.    Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi
Dengan demikian arti kata Korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
            Menurut Baharudi Lopa mengutip David M. Chalmers, istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).
2.         Bentuk-bentuk Korupsi
                        Menurut KPK (2006) bentuk korupsi ada tujuh macam, yaitu:
1.    Kerugian uang negara
2.    Suap menyuap
3.    Penggelapan dalam jabatan
4.    Pemerasan
5.    Perbuatan curang
6.    Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.    Gratifikasi
3.         Jenis Tindak Pidana Korupsi
Bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
2.    Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
3.    Menyuap pegawai negeri
4.    Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5.    Pegawai negeri menerima suap
6.    Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7.    Menyuap hakim
8.    Menyuap advokat
9.    Hakim dan advokat menerima suap
10.  Pengawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11.  Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12.  Pegawai negeri merusakkan bukti
13.  Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14.  Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15.  Pegawai negeri memeras
16.  Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17.  Pemborong berbuat curang
18.  Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19.  Rekanan TNI/POLRI berbuat curang
20.  Pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
21.  Penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
22.  Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain
23.  Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24.  Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25.  Merintangi proses pemeriksaan
26.  Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27.  Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28.  Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29.  Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
30.  Saksi yang membuka identitas pelapor
4.         Gratifikasi
Menurut Black’s Law Dictionary, Gratification: “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit”. Artinya Gratifikasi adalah sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan.
                        Bentuk gratifikasi bisa bersifat positif maupun negatif.
·         Gratifikasi Positif
Pemberian hadiah yang diberikan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun.
·         Gratifikasi Negatif
Pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya di kalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.
Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya didefinisikan sebagai berikut:
“Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya”
Apabila seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara menerima suatu pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12C UU No. 20 Tahun 2001.
5.         Penyebab Korupsi
Begitu parahnya perilaku Korupsi di negeri ini, sampai-sampai muncul anekdot bahwa di negeri ini jika kita melakukan hal yang benar malah dianggap salah. Banyak faktor penyebab korupsi. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
1.    Faktor Internal
a.    Aspek Perilaku Individu:
·         Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi  berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
·         Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
·         Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b.    Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif seseorang.
            2.   Faktor Eksternal
a.    Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
·         Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
·         Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat
tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
·         Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi.
Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
·         Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.
b.    Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c.    Aspek Politis
            Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik).
            Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d.    Aspek Organisasi
            Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi  karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
·         Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
·         Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
·         Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam organisasi.
·         Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
·         Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini kurang berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas itu sendiri.



1 komentar:

  1. mari kita bebaskan negeri tercinta ini dari korupsi...setuju....

    BalasHapus