Senin, 22 Juli 2013

STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2) 14

STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2)
(Analisis Hukum Kasus BLBI)


Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitakan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam ranah hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontroversi.
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan teatpi, persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan huukm keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan dibitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk me’imburse” transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
  Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh menggeneralisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
a.    Pemberian BLBI dlakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya
b.    Konspirasi antara “oknum Bank Indonesia” dengan bank penerima BLBI
c.    Pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
d.    Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana
BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauh mana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
            Pembuat Undang-Undang Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
a.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan
b.    Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank
c.    Tindak pidana perbankan di bidang pengawasan
d.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi manajemen)
e.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan tidak ada satu
rumusan pun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu, kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah, kepada bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan untuk menegakkan supremasi hukum pada satu sisi dengan realitas tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah “dikorbankan” untuk memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita penegakan supremasi hukum.
            Kebijakan pemberian “release and discharge” bagi para debitur nakal yang melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 telah mengakibatkan implikasi yang negatif, yaitu:
·         Memperlemah daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan pidana.
·         Kebijakan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam penegakan supremasi hukum
·         Kebijakan tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum pidana di bidang perbankan. Dimana dengan kebijakan tersebut pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI dapat dikesampingkan manakala penerima BLBI bersikap kooperatif dalam pengembalian utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah memenuhi rumusan hukum pidana dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Pemberian pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal dalam ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI) tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan seperti itu harus diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah pelakunya kooperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.
·         Pemberian “release and dischange” adalah sebuah inkonsistensi yang menampakkan secara nyata adanya ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh  rasa keadilan masyarakat. Kebijakan tersebut telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diakui dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab, sehingga perlu dituangkan dalam konstitusi sebagai “constitutional right”.
Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah
diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah mendapatkan respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya dilepaskan atau dibebaskan. Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dipidana, tapi sebelum dieksekusi terpidanan telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu ke luar negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku dipidana, namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.
            Adanya tarik ulur secara politis antara DPR dan pemerintah dalam penyelesaian masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang tidak beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang dimiliki DPR, tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan segala argumentasinya.
            Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Urip kemudian ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penangangan penghentian penyidikan kasus BLBI atas nama Syamsul Nursalim.
            Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangai oleh kejaksaan maupun yang ditangani oleh Kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian adalah perdebatan tentang apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau tidak. Hal ini terkait dengan asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) yang diperdebatkan, yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal I ayat (1) KUHP) sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu, hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang diberlakukan.
            Tetapi hal ini sebetulnya bukan suatu masalah karena sasaran dari asas nonretroaktif ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga ia berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil. Sedangkan kewenangan penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formal, sehingga dengan demikian kewenagangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif. Hanya saja persoalan selanjutnya adalah apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman yang sempit tentang asas nonretroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh kesamaan persepsi antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana.
            Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa pemikiran konklusif sebagai berikut:
1.    Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum, sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi
2.    Pemberian “release and discharge” sebagai tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah “menjungkirbalikkan” asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara hukum, dan dapat mengakibatkan difungsionalisasi hukum pidana
3.    Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif, karena sasaran dari asas nonretroaktif adalah perbuatan sebagai sesuatu yang berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar