Senin, 22 Juli 2013

PENGEMBANGAN WAWASAN 8

PENGEMBANGAN WAWASAN
(Mengenali Tindakan Korupsi dan Pemberantasannya)


1.         Pemahaman konseptual tentang makna korupsi
Sebelum mengenali tentang tindakan korupsi dan pemberantasannya, maka sebaiknya terlebih dahulu mengenal pemahaman konseptual tentang makna korupsi sebagai pengembangan wawasan.
Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum pidana Indonesia, korupsi itu bahkan dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus, dan diancam dengan pidana yang cukup berat.
Penelusuran terhadap berbagai literatur yang menjadikan korupsi sebagai objek kajian dan pembahasan, telah memberikan suatu gambaran tentang betapa tidak mudahnya membuat suatu batasan konseptual untuk memahami makna korupsi. Ketidakmudahan itu disebabkan karena kemajemukan aspek yang terkandung di dalam perilaku korupsi itu sendiri, sehingga sulit menarik suatu pengertian yang serba mencakup.
Menurut Robert O. Tilman, seperti halnya keindahan, pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana orang memandangnya. Penggunaan suatu perspektif tertentu akan menghasilkan pemahaman yang tidak sama tentang makna korupsi dengan penggunaan perspektif yang lain. Penggunaan pendekatan yuridis untuk memahami makna korupsi secara konseptual, akan menghasilkan suatu pengertian yang berbeda dengan penggunaan pendekatan-pendekatan lain seperti pendekatan sosiologis, kriminologis, dan politik misalnya.
Meskipun demikian, bukan berarti penggunaan pendekatan yang bersifat multidisipliner tidak bermanfaat bagi kalangan hukum untuk menelaah dan memahami makna korupsi. Pendekatan seperti itu justru sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, sehingga dapat dihasilkan pengertian yang luas dan konseptual tentang makna korupsi itu sendiri. Dengan demikian, kalangan hukum dapat memahami aspek-aspek yang secara sosiologis dan kriminologis adalah bersifat koruptif, namun belum tertampung dalam rumusan norma hukum pidana, sehingga ia diperlukan bagi politik hukum pidana dalam kerangka ius constituendum. Disamping itu, pemberian arti dari beberapa segi peninjauan tentang makna korupsi akan relevan dan berguna bagi usaha untuk menemukan cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penanggulangannya dari segi hukum pidana. Pemahaman yang luas tentang makna korupsi itu juga akan sangat membantu politik kriminal untuk mendapatkan kejelasan tentang segi-segi yang belum diungkapkan dalam rumusan hukum pidana, sehingga dapat dinilai kesempurnaan rumusan hukum pidana tersebut.
Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata corruptio dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia.
Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan.
Hal seperti itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black, yang mengartikan korupsi sebagai “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others”. (Terjemahan bebas: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).
Termasuk pula dalam pengertian “corruption” menurut Black adalah, perbuatan seorang pejabat yang melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
Dalam Webster’s New American Dictionary, kata “corruption” diartikan sebagai “decay” (lapuk), “contamination” (kemasukan sesuatu yang merusak) dan “impurity” (tidak murni). Sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai “to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk). Pengertian yang sama terlihat pula di dalam New World Dictionary of the American Language oleh William Collins. Sementara itu, di dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
A.S. Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.
Keanekaragaman pengertian istilah korupsi seperti tergambar di atas, dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai sebuah konsep. Atau dengna perkataan lain, keanekaragaman pengertian istilah korusp dapat menimbulkan kesulitan dalam menarik suatu batasan yang serba mencakup tentang makna korupsi. Atas dasar pemikiran yang seperti itu pulalah agaknya Robert Klitgaard keberatan membuat suatu definisi tentang korupsi.
Menurut Robert Klitgaard, membuat definisi korupsi adalah suatu yang membuang-buang waktu, dan lebih baik membahas cara-cara untuk memberantar korupsi itu sendiri. Dalam pemahamannya, korupsi itu ada manakala seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit, sistim irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di sektor pemerintahan, tapi juga di sektor swasta, bahakn sering terjadi sekaligus di kedua sektor tersebut. Akhirnya Klitgaard menyadari betapa tidak mudahnya merumuskan perilaku korupsi dalam sebuah definisi yang serba mencakupi. Batas-batask korupsi menurut beliau sulit dirumuskan, dan tergantung kepada kebiasaan dan undang-undang setempat.
Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.
Ketidakmampuan membuat sebuat definisi seperti yang diungkapkan Klitgaard, dikemukakan pula oleh Wertheim. Dalam tulisannya Wertheim cenderung menggunakan pengeritan yang agak spesifik. Menurutnya, seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuata menawarkan hadiah, atau bentuk balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bwah pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepenting pribadi yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap telah melakukan penggelapan uang negara dan masyarakat.
David H. Baley memberikan pengertian yang lebih luas tentang makna korupsi bila dibandingkan dengan pengertian Wertheim. Ia mengatakan, korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan nepotisme ke dalam korupsi. Dalam hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak secara langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan masyarakat.
Pemahaman yang lebih luas tentang makna korupsi telah membawa kita ke dalam wilayah dengan pendekata sosiologi. Pengertian sosiologi tentang korupsi memiliki cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian hukum pidana. Oleh karena itu, Syed Hussein Alatas dalam pembahasannya tentang sosiologi korupsi, dan untuk kepentingan analisis membedakan antara korupsi dan perilaku kriminal. Kita mempunya empat tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan, pemerasan, penggelapan, dan nepotisme. Semua itu sama sekali tidaklah sama. Namun, terdaptat satu benang merah yang menghubungkan ketiga tipe fenomena tersebut, yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan  privat dengan melanggar norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.
2.         Mengenali tindakan korupsi
Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengenali tindakan korupsi identik denga mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis oleh Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan berapa ciri dari korupsi, yaitu:
·         Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
·         Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakat, sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka.
·         Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
·         Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum
·         Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan itu
·         Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan
·         Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan
·         Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu
·         Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Meskipun ciri-ciri di atas masih bisa diperluas, namun ciri-ciri korupsi
yang dikemukakan Syed Hussein Alatas itu sudah cukup dan dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan korupsi. Dengan demikia dapat dipahami, bahwa setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai korupsi haruslah didekati dengan ciri-ciri tersebut, sehingga kita dapat menghindari pemahaman yang sempi tentang makna korupsi.
3.         Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemberantasan tindak pidana korupsi di atur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di bentuk berdasarkan undang-undang ini mempunya tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih luas. Kewenangannya meliputi antara lain:
·         Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
·         Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pelaku tindak pidana korupsi
·         Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan dari kepolisian atau kejaksaan
·         Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dapat memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya
·         Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Berdasarkan Pasal 54 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
           








Tidak ada komentar:

Posting Komentar