PENGEMBANGAN WAWASAN
(Mengenali Tindakan Korupsi dan Pemberantasannya)
(Mengenali Tindakan Korupsi dan Pemberantasannya)
1. Pemahaman konseptual tentang makna
korupsi
Sebelum mengenali tentang tindakan
korupsi dan pemberantasannya, maka sebaiknya terlebih dahulu mengenal pemahaman
konseptual tentang makna korupsi sebagai pengembangan wawasan.
Suatu fenomena sosial yang dinamakan
korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang
dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu,
perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk
oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak
koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis
dimanifestasikan dalam rumusan hukum pidana Indonesia, korupsi itu bahkan
dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus,
dan diancam dengan pidana yang cukup berat.
Penelusuran terhadap berbagai
literatur yang menjadikan korupsi sebagai objek kajian dan pembahasan, telah
memberikan suatu gambaran tentang betapa tidak mudahnya membuat suatu batasan
konseptual untuk memahami makna korupsi. Ketidakmudahan itu disebabkan karena
kemajemukan aspek yang terkandung di dalam perilaku korupsi itu sendiri,
sehingga sulit menarik suatu pengertian yang serba mencakup.
Menurut Robert O. Tilman, seperti
halnya keindahan, pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara dan
dari sudut mana orang memandangnya. Penggunaan suatu perspektif tertentu akan
menghasilkan pemahaman yang tidak sama tentang makna korupsi dengan penggunaan
perspektif yang lain. Penggunaan pendekatan yuridis untuk memahami makna
korupsi secara konseptual, akan menghasilkan suatu pengertian yang berbeda
dengan penggunaan pendekatan-pendekatan lain seperti pendekatan sosiologis,
kriminologis, dan politik misalnya.
Meskipun demikian, bukan berarti
penggunaan pendekatan yang bersifat multidisipliner tidak bermanfaat bagi
kalangan hukum untuk menelaah dan memahami makna korupsi. Pendekatan seperti
itu justru sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif,
sehingga dapat dihasilkan pengertian yang luas dan konseptual tentang makna
korupsi itu sendiri. Dengan demikian, kalangan hukum dapat memahami aspek-aspek
yang secara sosiologis dan kriminologis adalah bersifat koruptif, namun belum
tertampung dalam rumusan norma hukum pidana, sehingga ia diperlukan bagi
politik hukum pidana dalam kerangka ius constituendum. Disamping itu, pemberian
arti dari beberapa segi peninjauan tentang makna korupsi akan relevan dan
berguna bagi usaha untuk menemukan cara yang dapat ditempuh untuk melakukan
penanggulangannya dari segi hukum pidana. Pemahaman yang luas tentang makna
korupsi itu juga akan sangat membantu politik kriminal untuk mendapatkan
kejelasan tentang segi-segi yang belum diungkapkan dalam rumusan hukum pidana,
sehingga dapat dinilai kesempurnaan rumusan hukum pidana tersebut.
Dilihat dari sudut terminologi,
istilah korupsi berasal dari kata corruptio dalam bahasa latin yang berarti
kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau
perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai
perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia.
Istilah korupsi sering dikaitkan
dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan
demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan
menyangkut keuangan.
Hal seperti itu dikemukakan pula oleh
Henry Campbell Black, yang mengartikan korupsi sebagai “an act done with an
intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of
others”. (Terjemahan bebas: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak lain).
Termasuk pula dalam pengertian
“corruption” menurut Black adalah, perbuatan seorang pejabat yang melanggar
hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan
dengan kewajibannya.
Dalam Webster’s New American
Dictionary, kata “corruption” diartikan sebagai “decay” (lapuk),
“contamination” (kemasukan sesuatu yang merusak) dan “impurity” (tidak murni).
Sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai “to become rotten or putrid”
(menjadi busuk, lapuk atau buruk). Pengertian yang sama terlihat pula di dalam
New World Dictionary of the American Language oleh William Collins. Sementara
itu, di dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
A.S. Hornby dan kawan-kawan
mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan
penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta
kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David M. Chalmer menguraikan
pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah
penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut
bidang kepentingan umum.
Keanekaragaman pengertian istilah
korupsi seperti tergambar di atas, dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan
korupsi sebagai sebuah konsep. Atau dengna perkataan lain, keanekaragaman pengertian
istilah korusp dapat menimbulkan kesulitan dalam menarik suatu batasan yang
serba mencakup tentang makna korupsi. Atas dasar pemikiran yang seperti itu
pulalah agaknya Robert Klitgaard keberatan membuat suatu definisi tentang
korupsi.
Menurut Robert Klitgaard, membuat
definisi korupsi adalah suatu yang membuang-buang waktu, dan lebih baik
membahas cara-cara untuk memberantar korupsi itu sendiri. Dalam pemahamannya,
korupsi itu ada manakala seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi
di atas kepentingan rakyat, serta cita-cita yang menurut sumpah akan
dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal
sepele sampai pada soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit,
sistim irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut
keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Di
samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di
sektor pemerintahan, tapi juga di sektor swasta, bahakn sering terjadi
sekaligus di kedua sektor tersebut. Akhirnya Klitgaard menyadari betapa tidak
mudahnya merumuskan perilaku korupsi dalam sebuah definisi yang serba
mencakupi. Batas-batask korupsi menurut beliau sulit dirumuskan, dan tergantung
kepada kebiasaan dan undang-undang setempat.
Dalam sejarah kehidupan hukum pidana
Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum.
Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian
konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan
korupsi.
Ketidakmampuan membuat sebuat
definisi seperti yang diungkapkan Klitgaard, dikemukakan pula oleh Wertheim.
Dalam tulisannya Wertheim cenderung menggunakan pengeritan yang agak spesifik.
Menurutnya, seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah
apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuata menawarkan hadiah, atau
bentuk balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa
karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan seseorang,
juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan korupsi. Di samping itu,
masih termasuk ke dalam pengertian korupsi adalah penggunaan uang negara yang
berada di bwah pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepenting pribadi
yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah
dianggap telah melakukan penggelapan uang negara dan masyarakat.
David H. Baley memberikan pengertian
yang lebih luas tentang makna korupsi bila dibandingkan dengan pengertian
Wertheim. Ia mengatakan, korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah
suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat
pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan yang
luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkannya
penyuapan, pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan
milik sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan nepotisme ke dalam
korupsi. Dalam hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak
secara langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan
masyarakat.
Pemahaman yang lebih luas tentang makna korupsi telah
membawa kita ke dalam wilayah dengan pendekata sosiologi. Pengertian sosiologi
tentang korupsi memiliki cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan
pengertian hukum pidana. Oleh karena itu, Syed Hussein Alatas dalam
pembahasannya tentang sosiologi korupsi, dan untuk kepentingan analisis
membedakan antara korupsi dan perilaku kriminal. Kita mempunya empat tipe
fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan, pemerasan,
penggelapan, dan nepotisme. Semua itu sama sekali tidaklah sama. Namun,
terdaptat satu benang merah yang menghubungkan ketiga tipe fenomena tersebut,
yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan melanggar norma-norma tugas dan
kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan,
dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.
2. Mengenali tindakan korupsi
Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengenali
tindakan korupsi identik denga mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri
seperti yang ditulis oleh Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk
memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan
berapa ciri dari korupsi, yaitu:
·
Korupsi
senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
·
Korupsi pada
umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan
begitu mendalam berurat berakat, sehingga individu-individu yang berkuasa, atau
mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatan mereka.
·
Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
·
Mereka yang
mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum
·
Mereka yang
terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang
tegas, dan mereka yang mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan itu
·
Setiap
tindakan korupsi mengandung penipuan
·
Setiap
bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan
·
Setiap
bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan tindakan itu
·
Suatu
perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat.
Meskipun ciri-ciri di atas masih
bisa diperluas, namun ciri-ciri korupsi
yang dikemukakan Syed Hussein Alatas itu sudah cukup dan dapat digunakan
sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan korupsi. Dengan demikia dapat
dipahami, bahwa setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai korupsi haruslah
didekati dengan ciri-ciri tersebut, sehingga kita dapat menghindari pemahaman
yang sempi tentang makna korupsi.
3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemberantasan tindak pidana korupsi
di atur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang di bentuk berdasarkan undang-undang ini mempunya tugas dan
wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih luas.
Kewenangannya meliputi antara lain:
·
Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
·
Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pelaku tindak pidana korupsi
·
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) berwenang mengambil alih penyidikan
atau penuntutan dari kepolisian atau kejaksaan
·
Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan dapat memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya
·
Meminta
bantuan kepolisian atau instansi lain terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan atau penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani.
Berdasarkan Pasal 54 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini yang bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya
diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar