STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2)
(Analisis Hukum Kasus BLBI)
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan
perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI
tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah
kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan
bila dikaitakan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul
sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana
BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan
kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin
menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung
mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan
masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang
berada dalam ranah hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat
berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua,
masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah
menimbulkan berbagai kontroversi.
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah
fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak
perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang
dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh
untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang
dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan teatpi,
persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah
disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya,
bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya
kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat
besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai
bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah
sesuatu yang berada dalam lapangan huukm keperdataan, karena para pihak
dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak
sebagai kreditur dan dibitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan
pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi
penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu
hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga
digunakan untuk me’imburse” transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana
BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan
atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata
merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar
kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan.
Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan
dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi
rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 jo UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses
peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun
demikian, kita tentu tidak boleh menggeneralisasi semua kasus BLBI sebagai
perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang
memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur
hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya
dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
a. Pemberian BLBI dlakukan kepada pihak yang tidak pantas
menerimanya
b. Konspirasi antara “oknum Bank Indonesia” dengan bank
penerima BLBI
c. Pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
d. Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus
penyalahgunaan dana
BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan
aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada
penerapan ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau
ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Artinya, sejauh mana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum
pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau
penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat
Undang-Undang Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut
meliputi:
a. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan
perizinan
b. Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank
c. Tindak pidana perbankan di bidang pengawasan
d. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan
usaha bank (kolusi manajemen)
e. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak
terafiliasi
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan
tidak ada satu
rumusan pun yang dapat digunakan untuk menjangkau
pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu, kasus-kasus BLBI yang
mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penanganan
terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah,
kepada bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan
untuk menegakkan supremasi hukum pada satu sisi dengan realitas tentang betapa
hukum (khususnya hukum pidana) telah “dikorbankan” untuk memenuhi kebijakan
pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk menyelamatkan
keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatan-perbuatan
yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya
diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita
penegakan supremasi hukum.
Kebijakan
pemberian “release and discharge” bagi para debitur nakal yang melakukan
penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 telah mengakibatkan implikasi yang negatif, yaitu:
·
Memperlemah
daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan
pidana.
·
Kebijakan
tersebut dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam penegakan supremasi
hukum
·
Kebijakan
tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum
pidana di bidang perbankan. Dimana dengan kebijakan tersebut
pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI dapat
dikesampingkan manakala penerima BLBI bersikap kooperatif dalam pengembalian
utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah
memenuhi rumusan hukum pidana dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan
pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukannya
apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Pemberian pembebasan dari tuntutan
pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal dalam ajaran hukum
pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan
negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI)
tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Jadi sekalipun utang yang
timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan
dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu
terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal. Oleh
karena itu, kalau kita ingin konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka
penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam praktek
perbankan seperti itu harus diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa
mempertimbangkan apakah pelakunya kooperatif atau tidak dalam melunasi
utang-utangnya.
·
Pemberian “release
and dischange” adalah sebuah inkonsistensi yang menampakkan secara nyata adanya
ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh
rasa keadilan masyarakat. Kebijakan tersebut telah melanggar prinsip
persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diakui dan diterima
sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab, sehingga perlu dituangkan
dalam konstitusi sebagai “constitutional right”.
Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang
telah
diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah mendapatkan
respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap
penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai
intervensi. Ada pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi
kemudian pelakunya dilepaskan atau dibebaskan. Ada pula yang pelakunya
dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dipidana, tapi
sebelum dieksekusi terpidanan telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu
ke luar negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun
pelaku dipidana, namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak
bisa diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang
betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.
Adanya
tarik ulur secara politis antara DPR dan pemerintah dalam penyelesaian masalah
BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang tidak
beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang
dimiliki DPR, tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan
segala argumentasinya.
Ketidakberesan
lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa
Urip Tri Gunawan oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Urip kemudian ditetapkan
sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penangangan penghentian
penyidikan kasus BLBI atas nama Syamsul Nursalim.
Pasca
tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih
penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangai oleh kejaksaan
maupun yang ditangani oleh Kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian
adalah perdebatan tentang apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani
kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau tidak. Hal ini
terkait dengan asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) yang diperdebatkan,
yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal I ayat (1) KUHP)
sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu,
hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi
sebelum undang-undang diberlakukan.
Tetapi
hal ini sebetulnya bukan suatu masalah karena sasaran dari asas nonretroaktif
ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga ia berada
dalam ruang lingkup hukum pidana materiil. Sedangkan kewenangan penyidikan
berada dalam ranah hukum pidana formal, sehingga dengan demikian kewenagangan
KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak
perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif. Hanya saja persoalan selanjutnya adalah
apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman yang sempit tentang
asas nonretroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh kesamaan persepsi
antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana.
Dari
uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa pemikiran konklusif sebagai
berikut:
1. Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan
negara adalah perbuatan melawan hukum, sehingga memenuhi rumusan
perundang-undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi
2. Pemberian “release and discharge” sebagai tertuang
dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah
“menjungkirbalikkan” asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara
hukum, dan dapat mengakibatkan difungsionalisasi hukum pidana
3. Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan
kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas
nonretroaktif, karena sasaran dari asas nonretroaktif adalah perbuatan sebagai
sesuatu yang berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil.