Senin, 22 Juli 2013

STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2) 14

STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2)
(Analisis Hukum Kasus BLBI)


Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitakan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam ranah hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontroversi.
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan teatpi, persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan huukm keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan dibitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk me’imburse” transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
  Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh menggeneralisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
a.    Pemberian BLBI dlakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya
b.    Konspirasi antara “oknum Bank Indonesia” dengan bank penerima BLBI
c.    Pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
d.    Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana
BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauh mana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
            Pembuat Undang-Undang Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
a.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan
b.    Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank
c.    Tindak pidana perbankan di bidang pengawasan
d.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi manajemen)
e.    Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan tidak ada satu
rumusan pun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu, kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah, kepada bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan untuk menegakkan supremasi hukum pada satu sisi dengan realitas tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah “dikorbankan” untuk memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita penegakan supremasi hukum.
            Kebijakan pemberian “release and discharge” bagi para debitur nakal yang melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 telah mengakibatkan implikasi yang negatif, yaitu:
·         Memperlemah daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan pidana.
·         Kebijakan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam penegakan supremasi hukum
·         Kebijakan tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum pidana di bidang perbankan. Dimana dengan kebijakan tersebut pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI dapat dikesampingkan manakala penerima BLBI bersikap kooperatif dalam pengembalian utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah memenuhi rumusan hukum pidana dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Pemberian pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal dalam ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI) tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan seperti itu harus diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah pelakunya kooperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.
·         Pemberian “release and dischange” adalah sebuah inkonsistensi yang menampakkan secara nyata adanya ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh  rasa keadilan masyarakat. Kebijakan tersebut telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diakui dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab, sehingga perlu dituangkan dalam konstitusi sebagai “constitutional right”.
Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah
diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah mendapatkan respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya dilepaskan atau dibebaskan. Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dipidana, tapi sebelum dieksekusi terpidanan telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu ke luar negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku dipidana, namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.
            Adanya tarik ulur secara politis antara DPR dan pemerintah dalam penyelesaian masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang tidak beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang dimiliki DPR, tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan segala argumentasinya.
            Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Urip kemudian ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penangangan penghentian penyidikan kasus BLBI atas nama Syamsul Nursalim.
            Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangai oleh kejaksaan maupun yang ditangani oleh Kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian adalah perdebatan tentang apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau tidak. Hal ini terkait dengan asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) yang diperdebatkan, yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal I ayat (1) KUHP) sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu, hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang diberlakukan.
            Tetapi hal ini sebetulnya bukan suatu masalah karena sasaran dari asas nonretroaktif ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga ia berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil. Sedangkan kewenangan penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formal, sehingga dengan demikian kewenagangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif. Hanya saja persoalan selanjutnya adalah apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman yang sempit tentang asas nonretroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh kesamaan persepsi antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana.
            Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa pemikiran konklusif sebagai berikut:
1.    Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum, sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi
2.    Pemberian “release and discharge” sebagai tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah “menjungkirbalikkan” asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara hukum, dan dapat mengakibatkan difungsionalisasi hukum pidana
3.    Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif, karena sasaran dari asas nonretroaktif adalah perbuatan sebagai sesuatu yang berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil.


STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR 13

STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR
(Maraknya korupsi para petinggi negara kita yang membuat
carut marut birokrasi di era reformasi kita)


Maraknya pelanggaran tindak pidana korupsi di tanah air tercinta ini ibarat bola panas menggelinding tiada haenti-hentinya yang setiap saat bisa menghantam satu demi satu para oknum petinggi negara baik yang duduk di lembaga Eksekutip, Legislatip, dan lembaga Yudikatip. Oknum-oknum tersebut telah berbuat kejahatan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk melakukan tindak pidana korupsi keuangan negara, sehingga negara telah dirugikan sangat besar nilainya.
Oknum-oknum petinggi negara yang telah melakukan kejahatan tindak pidana korupsi keuangan negara tersebut telah mencemarkan dan merusak institusi masing-masing dimana mereka duduk menjabat. Dampaknya telah merugikan rakyat bangsa dan negara. Sebut saja diantaranya oknum-oknum tersebut yang telah merugikan rakyat bangsa dan negara antara lain:
  1. Tindak pidana korupsi di institusi penegak hukum kepolisian (sebagai kepanjangan tangan lembaga yudikatif)
Yaitu oknum Jenderal Djoko Susilo dan Brigjen Didiek Purnomo yang oleh pihak KPK telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi pengadaan mesin simulator pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang bernilai Rp100 miliar dan ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan pada 27 Juli 2012, dan di jerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang dan Perbuatan Memperkaya Diri sehingga merugikan keuangan negara dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pihak KPK pada kroni-kroni Jenderal Djoko Susilo yang telah terbukti melakukan kerjasama tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara Rp100 miliar antara lain Brigjen Didiek Purnomo (Wakil Kepala Korlantas - non aktif), Budi Susanto (Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi), perusahaan pemenang tender pengadaan simulator, dan Sukotjo S. Bambang (Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia) yang menjadi perusahaan sub-kontraktor dari PT CMMA. Sukotjo S. Bambang telah di vonis penjara 2.5 tahun oleh pengadilan dan sekarang telah mendekam di rutan Kebon Waru Bandung. Ia dituduh atas perkara penggelembungan proyek simulator.
  1. Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Eksekutif
Sebagai contoh adalah mantan Menteri Kemenpora Andi Alfian Mallarangeng dan mantan Seskemenpora Wafid Muharram yang telah dijadikan tersangka oleh KPK karena di duga terlibat langsung dalam tindak pidana korupsi kasus Hambalang yang melibatkan banyak pihak pejabat tinggi negara bahkan juga telah menyeret Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardoyo yang di duga terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang karena Menteri Keuangan ini adalah pihak yang telah menandatangani pencairan dana proyek Hambalang sebesar Rp1,2 triliun.
Menteri keuangan marah dan tidak terima dituduh terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Menurutnya bila berkaca pada undang-undang keuangan negara yang paling tahu anggaran adalah pengguna anggaran itu sendiri diundang-undang pun jelas, di undang-undang, pengguna anggaran yang bertanggung jawab atas perencanaan anggaran, penggunaan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban atas anggaran, dan pelaporan. Jadi menurutnya, yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini adalah mantan Menteri Kemenpora Andi Alfian Mallarangen dan sekretaris menterinya Wafid Muharram yang telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Sesmenkemenpora.
Kasus kejahatan tindak pidana korupsi keuangan negara ini diperkirakan masih terus menggelinding ibarat bola panas yang akan terus membentur oknum-oknum petinggi negara lainnya yang terlibat namun belum terungkap pelanggaran kasus tindak pidana korupsi yang dilakukannya; dan diharapkan oleh semua pihak agar KPK lebih gigih lagi bisa mengungkap dan menindak tegas tanpa pandang bulu bagi para pelaku tindak pidana korupsi keuangan negara, dengan diberikan sanksi hukuman penjara seberat-beratnya dengan denda sebesar-besarnya serta penyitaan harta hasil korupsi yang dilakukannya.
  1. Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Legislatif
Oknum anggota legislatif (DPR RI) yang sedang hangat-hangatnya
menjadi berita di berbagai media adalah Angelina Sondakh yang di duga telah melakukan tindak pidana korupsi pembahasan anggaran proyek di Kemenpora dan Kemendiknas. Politisi muda partai Demokrat yang juga mantan Putri Indonesia 2001 ini telah dituntut oleh jaksa penuntut umum KPK, Kresno Anto Wibowo, di pengadilan Tipikor Jakarta Kamis 20 Desember 2012 dengan  tuntutan penjara 12 tahun, denda Rp500 juta, dan sita uang pengganti hasil uang korupsi sebesar Rp35 miliar.
            Oknum anggota DPR RI dari politisi partai Demokrat lainnya yang terlibat yaitu; M. Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat) yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, penyelewengan keuangan negara atas proyek Wisma Atlet, Hambalang dan sebagainya yang telah melibatkan banyak petinggi negara baik di lembaga legislatif, eksekutif  dan lembaga yudikatif dan bahkan pihak swasta terlibat. Saat ini M. Nazaruddin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan berada di rumah tahanan.  
            Maraknya berbagai kasus kejahatan tindak pidana korupsi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa: di birokrasi pemerintahan era reformasi sekarang  ini terdapat pelanggaran tindak pidana korupsi yang merajalela dan mewabah yang telah dilakukan oknum-oknum di lembaga  eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif sehingga menunjukan dan membuktikan betapa carut marutnya negeri ini dan

Nampak makin jauh rasa keadilan dan kesejahteraan  kemakmuran rakyat indonesia. Padahal dalam sila ke lima dalam Pancasila tertulis “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” apakah hal ini masih merupakan harapan dan impian atau merupakan sebuah keniscayaan belaka bagi bangsa ini. Kiranya sungguh mengerikan bila  wabah bencana kejahatan tindak pidana korupsi ini tidak ada yang bisa menghentikan di negeri ini, maka tinggal menunggu tanggal mainnya kehancuran negeri tercinta ini yang hanya merupakan negeri dongeng seribu satu malam belaka.

PENCEGAHAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI 12

PENCEGAHAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI


1.         Konsep Pemberantasan Korupsi
Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit kanker “ganas” yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai upaya pemberantasan korupsi, berikut pernyataaan Fijnaut dan Huberts (2002) mengenai strategi atau upaya pemberantasan korupsi:
It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characterictics of the actor involved (and the environment they operate in). there is no single concept and program of good governance for all countries and organization, there is no “one right way”. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to seek their own solutions.
            Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa penting untuk menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan dimana mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep, atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara, atau upaya yang kesemuanya perlu disesuaikan dengan konteks, masyarakat, maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat, maupun organisasi perlu mencari cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya.
            Upaya yang paling tepat memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Jika memang demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian?
2.         Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):
1.    Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)
2.    Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment)
3.    Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya seperti penyuluhan dan pendidikan.
Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan
kejahatan dapat dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
            Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
            Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini korupsi). Faktor-faktor kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik, ekonomi, maupun sosial yang secara langsung atau tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi). Dengan demikian upaya non-penal seharusnya menjadi kunci ataum memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
            Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki “keterbatasan”  dan mengandung beberapa “kelemahan” (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara “subsidair”. Pertimbangan tersebut adalah (Arief, 1998):
·         Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimatum remedium (obat terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi)
·         Dilihat secara fungsional (pragmatis), operasionalisasi, dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi
·         Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/pradoksal yang mengandung efek sampingan negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Permasyarakatan
·         Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala). Hanya merupakan obat simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana
·         Hukum pidana lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks
·         Sistem pemidanaan bersifat framentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional
·         Efektivitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masing sering diperdebatkan opleh para ahli.
3.         Berbagai Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi
United Nations mengembangkan berbagai upaya atau strategi untuk memberantas korupsi yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkits (UNODC, 2004):
3.1.      Pembentukan Lembaga Anti Korupsi
a.    Membentuk lembaga independen yang khusus menangani korupsi. Di Hongkong bernama Independent Commission Against Corruption (ICAC), di Malaysia the Anti-Corruption Agency (ACA), dan di Indonesia: KPK
b.    Memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan. Pengadilan adalah jantung penegakan hukum yang harus bersikat imparsial (tidak memihak), jujur, dan adil. Banyak kasus korupsi tidak terjerat hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerja buruk karena tidak mampu (unable) mungkin masih bisa dimaklumi karena berarti pengetahuan dan keterampilannya perlu ditingkatkan. Bagaimana bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak punya keinginan kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi? Dimana lagi kita akan mencari keadilan?
c.    Di tingkat departemen kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Ada kesan lembaga ini sama sekali tidak punya ‘gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi
d.    Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan terjadinya korupsi
e.    Hal lain yang krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Pada waktu itu korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota Negara. Dengan otonomi, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara tapi berkembanga ke berbagai daerah
f.     Dalam berbagai pemberitaan di media-media, ternyata korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan korupsi yang “dibungkus” rapi.
3.2.      Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
a.    Salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum dan sesudah menjabat. Masyarakat ikut memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya ke orang lain.
b.    Pengadaan barang atau kontrak pekerjaan di pemerintahan pusat dan daerah maupun militer sebaiknya melalui lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat diberi akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil pelelangan tersebut.
c.    Korupsi juga banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan anggota TNI-Polri baru. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sering terjadi dalam proses rekrutmen tersebut. Sebuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal perekrutan perlu dikembangkan.
d.    Sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitik-beratkan pada proses (process oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerjanya, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diber insentif.
3.3.      Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
a.    Salah satu upaya memberantas korupsi adalah dengan memberi hak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi. Perlu dibangun sistem dimana masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
b.    Isu mengenai public awareness atau kesadaran dan kepedulian publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bagian penting upaya pemberantasan korupsi. Salah satu cara meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.
c.    Menyediakan sarana untuk melaporkan kasus korupsi. Misalnya melalui telepon, surat, faksimili (fax), atau internet.
d.    Di beberapa negara pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi, dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi lebih besar daripada kepentingan individu.
e.    Pers yang bebas adalah salah satu pilar demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi
f.     Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingkat lokal maupun internasional juga memiliki peran penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Sejak era Reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti Korupsi banyak bermunculan. LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Contoh LSM lokal adal ICS (Indonesian Corruption Watch).
g.    Cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan perangkat electronic surveillance. Alat ini digunakan untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang di tempat-tempat tertentu. Misalnya kamera video (CCTV).
h.    Melakukan tekanan sosial dengan menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.
D. Andhi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (2011) menjelaskan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan terdapat empat hal bisa dijadikan bahan renungan dan pemikiran:
1.    Harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi
2.    Revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi aparatur penegak hukum yang menangani perkara korupsi
3.    Reformulasi fungsi lembaga legislatif
4.    Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dimulai dari diri sendiri dari hal-hal yang kecil dan mulai hari ini agar setiap daerah terbebas dari korupsi (Miranis, 2012).
3.4.      Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Dukungan terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Perlu peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberantasan korupsi yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau pencucian uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan pers, perlu UU yang mengatur pers yang bebas. Perlu mekanisme untuk mengatur masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan elektronic surveillance agar tidak melanggar privacy seseorang. Hak warganegara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya juga perlu diatur. Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen kode etik yang ditujukan kepada semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan).
            3.5.      Pemantauan dan Evaluasi
Perlu pemantauan dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi agar diketahui capaian yang telah dilakukan. Melalui pemantauan dan evaluasi dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan gagal. Program yang sukses sebaiknya silanjutkan, sementara yang gagal dicari penyebabnya.
Pengalaman di negara lain yang sukses maupun gagal dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya, maupun program permberantasan korupsi di negara tertentu.
            3.6.      Kerjasama Internasional
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama internasional baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs. Sebagai contoh di tingkat internasional, Transparency International (TI) membuat program National Integrity Sistem. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh PBB untuk mengambil langkah baru dalam memerangi korupsi di tingkat internasional membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for Integrity. 

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA 11

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA


1.         Pengertian Korupsi
Kata ‘Korupsi’ berasal dari bahasa Latin ‘corruptio’ (Fockema Andrea: (1951) atai ‘corruptus’ (Webster Student Dictionary” 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa ‘corruptio’ berasal dari kata ‘corrumpere’, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilan ‘corruption, corrupt’ (Inggris), ‘corruption’ (Perancis) dan ‘corruptie/korruptie’ (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (S. Wojowasito-WJS Purwadarminta: 1976).
Menurut Muhammad Ali: 1993, pengertian Korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya
2.    Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
3.    Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi
Dengan demikian arti kata Korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
            Menurut Baharudi Lopa mengutip David M. Chalmers, istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).
2.         Bentuk-bentuk Korupsi
                        Menurut KPK (2006) bentuk korupsi ada tujuh macam, yaitu:
1.    Kerugian uang negara
2.    Suap menyuap
3.    Penggelapan dalam jabatan
4.    Pemerasan
5.    Perbuatan curang
6.    Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.    Gratifikasi
3.         Jenis Tindak Pidana Korupsi
Bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
2.    Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
3.    Menyuap pegawai negeri
4.    Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5.    Pegawai negeri menerima suap
6.    Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7.    Menyuap hakim
8.    Menyuap advokat
9.    Hakim dan advokat menerima suap
10.  Pengawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11.  Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12.  Pegawai negeri merusakkan bukti
13.  Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14.  Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15.  Pegawai negeri memeras
16.  Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17.  Pemborong berbuat curang
18.  Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19.  Rekanan TNI/POLRI berbuat curang
20.  Pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
21.  Penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
22.  Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain
23.  Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24.  Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25.  Merintangi proses pemeriksaan
26.  Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27.  Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28.  Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29.  Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
30.  Saksi yang membuka identitas pelapor
4.         Gratifikasi
Menurut Black’s Law Dictionary, Gratification: “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit”. Artinya Gratifikasi adalah sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan.
                        Bentuk gratifikasi bisa bersifat positif maupun negatif.
·         Gratifikasi Positif
Pemberian hadiah yang diberikan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun.
·         Gratifikasi Negatif
Pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya di kalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.
Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya didefinisikan sebagai berikut:
“Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya”
Apabila seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara menerima suatu pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12C UU No. 20 Tahun 2001.
5.         Penyebab Korupsi
Begitu parahnya perilaku Korupsi di negeri ini, sampai-sampai muncul anekdot bahwa di negeri ini jika kita melakukan hal yang benar malah dianggap salah. Banyak faktor penyebab korupsi. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
1.    Faktor Internal
a.    Aspek Perilaku Individu:
·         Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi  berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
·         Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
·         Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b.    Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif seseorang.
            2.   Faktor Eksternal
a.    Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
·         Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
·         Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat
tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
·         Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi.
Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
·         Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.
b.    Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c.    Aspek Politis
            Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik).
            Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d.    Aspek Organisasi
            Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi  karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
·         Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
·         Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
·         Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam organisasi.
·         Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
·         Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini kurang berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas itu sendiri.